Menuju Surga*

Menuju Surga

Oleh : Yanuari Dwi Prianto

Surga, dalam benak seorang pemuda bagai seorang gadis dengan perawakan yang begitu menggoda. Cantik parasnya, seterang purnama, menentramkan jiwa. Tunduk pandangnya, dengan sipu malu menghias akhlaq berbudinya. Bertutup pakaian yang rapat, sopan, tapi wibawa penuh keanggunan.

Surga, dalam impian seorang sufi bagai dzikir yang melenakan diri. Begitu tenang, tenteram dan menghanyutkan. Mata terpejam, kepala melenggang, dengan irama yang begitu mendalu dalam.

Surga, terkandung dalam kitab mulia Agama Islam, tergambar sebagai taman yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Istana dengan gemerlap emas, perak, mutiara dan berlian menyilaukan mata. Kampung bidadari bermata jeli sebagai istri suci yang anggun nan berbudi. Ladang kesenangan, kemewahan, dan kenikmatan yang berlipat kali dari kesenangan, kemewahan dan kenikmatan di dunia.

Seperti itulah gambaran surga yang begitu indah menggoda. Siapa yang tidak tergiur dengan kenikmatan surga? Tetapi dengan giur keindahannya seringkali membuat manusia lalai untuk meraihnya, terkadang kita merasa terlalu hina untuk berupaya menggapainya, dan lupa mempersiapkan cukup bekal untuk menujunya.

Dalam menuju surga, kematianlah gerbangnya. Karena surga berada pada kehidupan yang berbeda, kehidupan murni dibawah naungan ilahi, yaitu akhirat yang kekal abadi. Kematian adalah gerbang peralihan kehidupan, jika di dunia adalah ladang amal, maka akhirat adalah ladang pembalasan. Dan pastilah setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Entah cepat atau lambat. Tidak harus menunggu tua, masih muda pun bisa. Mengenai kematian ini Allah pun mempertegas dalam kitab-Nya pada surah Al-Jumu’ah ayat 57, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan di kembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”.

Menuju surga berarti sedia mempersiapkan kematian dengan sebaik-baiknya. Jadi berbicara persiapan menuju surga berkorelasi erat dengan persiapan menuju kematian, karena jika persiapan dalam menunggu kematian sempurna, maka berpijak kaki di surga pun menjadi niscaya.

Dalam menuju surga, ilmulah penerangnya, karena ilmu adalah cahaya. Ilmu mengusir gelap membawa terang. Dengan ilmu, kita yang tidak tahu akan menjadi tahu, yang sebelumnya tak kenal akan suatu perkara menjadi memahaminya. dan karena itulah, dengan ilmu kita akan dapat dengan mudah melihat terang jalan menuju surga, membeda jalan menujunya dengan jalan selainnya, dan waspada terhadap rambu-rambunya. Dalam sebuah hadist Rasulullah menegaskan salah satu urgensi dalam menuntut ilmu,“Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga”1.

Dalam menuju surga, taqwalah rambu-rambunya. Karena Agama dan setiap perangkatnya berisi peritah dan larangan. Taqwa merupakan kesadaran untuk taat kepada setiap perintah, dan tegas menghindar dari larangan. Taqwa, menyimak percakapan antara sahabat Umar dan Ubay bin Ka’ab ra. Suatu ketika sahabat Umar ra bertanya kepada Ubay bin Ka’ab apakah taqwa itu? Dia menjawab; “Pernahkah kamu melalui jalan berduri?” Umar menjawab; “Pernah!” Ubay menyambung, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Umar menjawab; “Aku berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan.” Maka Ubay berkata; “Maka demikian pulalah taqwa!” Sedang menurut Sayyid Qutub dalam tafsirnya—Fi Zhilal Al-Qur`an—taqwa adalah kepekaan hati, kehalusan perasaan, rasa khawatir yang terus menerus dan hati-hati terhadap semua duri atau halangan dalam kehidupan.

Salah seorang ulama yang bernama Syauqi, menjelaskan keterkaitan taqwa dengan kematian dengan syairnya, “Persiapkanlah dirimu untuk berbuat taqwa, sebab kalau malam datang, anda tidak mampu menjamin apakah besok pagi masih bisa hidup atau tidak. Berapa banyak yang anda lihat, ada orang yang sehat-segar bugar, tapi secara mendadak meninggal dunia. Namun sebaliknya, banyak pula orang yang penyakitan, tapi belum mati-mati ”.

Firman Allah dalam surah Al-Baqoroh ayat 197, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal “. Mari kita siapkan bekal dalam menghadapi kematian itu, dan salah satu bekal yang harus kita persiapkan adalah nilai-nilai ketaqwaan kepada Allah SWT.

Dalam menuju surga, imanlah jalannya, karena keimanan yang akan menentukan kemana dan kepada siapa kita menuju. Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah rodhiallohu ‘anhu, aku berkata: wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain selain engkau, (maka) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ucapkanlah: “aku beriman kepada Allah”, kemudian beristiqomahlah dalam ucapan itu”2. Sehingga dengan iman hakiki yang tertanam dalam sanubari ini, tidak akan terlena diri dengan bercabangnya jalan duniawi.

Dan dalam menuju surga istiqomahlah kendaraannya. Laiknya sebuah kendaraan, dialah yang akan mempengaruhi waktu, capat dan lambat kita mencapai tujuan. Semakin cepat kita berkendara dengan dengan kecepatan yang linier dan konsisten maka semakin cepat pula kita akan tiba pada tempat yang di cita. Begitu pula sebaliknya, jika kita berkendara dengan pelan, ditambah ketidak konsistenan dalam mengatur kecepatan, niscaya keterlambatanlah yang akan kita temui selepas tiba. Begitulah istiqomah, dengannya, dalam setiap ibadah dan amal baik kita akan mempercepat serta menjamin kita menuju surga, sebagaimana disebutkan dalam kiab suci Al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:”Robb kami ialah Allah” kemudian mereka beristiqomah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):”Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu3, kemudian di surat dan ayat lain di pertegas, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:”Robb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap beristiqomah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan (di dunia)4.

Istiqomah menjadi syarat yang inti, karena percuma kita waspada akan taqwa, konsisten  akan iman, dan terang karena ilmu, jika hanya sehari. Sedangkan, hari-hari berikutnya kita hiasi dengan maksiat tanpa hisab diri. Dan istiqomah inilah yang akan menjadi kendaraan bagi kita, semakin kita istiqomah, semakin cepat pula kita menuju surga dan begitu sebaliknya.

Begitulah, dalam menuju surga, ada gerbang kematian yang harus kita lewati, dalam kemuliaan melewatinya terdapat bekal-bekal yang harus di penuhi, yaitu ilmu yang kan menjadi penerangnya, taqwa rambunya, iman jalannya dan istiqomah kendaraannya. Semoga kita semua yang masih berkesempatan menanam sebanyak-banyaknya amal di ladang amal dunia, dapat memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya serta dapat membekali diri dalam menuju surga dengan sempurna.

———————————————————————————

[1]     Hadits shahih: Diriwayatkan, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim dalam Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317))

[2]     Shahih Muslim, Hadist no. 38

[3]     QS. Fushshilat ayat 30

[4]     QS. Al Ahqaaf: 13-14

Kamis, 19 April 2012

Markas Dakwah UTM

*Tulisan ini dibuat untuk Bedah Karya, kajian rutin FLP Bangkalan, pada tanggal 25 April 2012 Pukul 08.00